­
­

Cemara Cemar Cerita


Mari kita mulai dari cerita ini.
Gemuruh air pantai dan suara kepakan sekelompok burung yang sedang menikmati suasana pantai.
Tatapan kosong dan sebuah telepon genggam yang dipegangnya erat-erat.

Apa yang dipikirkan seorang wanita ketika ia merasa keadaannya di ujung tanduk menginginkan sebuah jawaban dari pertanyaan yang bisa jadi bodoh atau tak memerlukan jawaban? Tentu saja sama bodohnya dengan pertanyaan itu dan ia pun tak menemukan jawaban karena pertanyaan itu sama sekali tak memerlukan jawaban.
Benar atau salah. Iya atau tidak. Sepertinya jika diibaratkan hanyalah sebuah kepercayaan yang orang imani bisa membawanya ke surga terindah. 
Dia sudah tahu. Dia harus bergerak. Mencari kebenaran bukan hanya dengan berdiam diri bersama gemuruh air pantai dan suara kepakan sekelompok burung.

Dia mulai memainkan telepon genggam yang ia pegang erat-erat. Tangannya bergerak mengikuti pikirannya yang mulai gaduh. Ternyata keinginan yang teramat kuat mampu membuat pikiran orang yang begitu tenang, gaduh bukan kepalang.
Tunggu sebentar, dia membatalkan gerakan tangannya. Perlahan menghilangkan satu per satu huruf yang ia mainkan. Dia mendekatkan telepon genggam itu ke sebelah kanan telinganya. Mulutnya begitu tenang, tak segaduh pikirannya. Dia berbicara sangat tenang.
Dia telah terkurung begitu lama. Entah karena ruangan yang mengurungnya begitu kedap suara, begitu indah, atau begitu menjanjikan segala-galanya, hingga ia benar-benar bodoh tidak memedulikan suara-suara di sekitarnya yang sudah berteriak hingga tenggorokan mereka kering untuk segera meninggalkan tempat itu.

Kereta malam membawanya ke tempat yang yang ia tuju. Udara dingin menyambut. Dia kembali dengan tatapan kosong. Di setiap jalan yang ia tatap melalui jendela kereta berlalu begitu saja seperti waktu yang telah dilupakan begitu cepat oleh laki-laki yang sudah membohonginya.

Mari kita tutup dengan cerita ini.
Kau melihatnya membeku di sebuah ruangan di rumah sakit. Masih setengah tak percaya. Kau mendengarnya bercerita tak lengkap. Tak meneteskan air mata sedikit pun dan berkata, “Dia benar tidur bersama wanita itu. Bukan hanya itu. Dia juga benar tidur bersama tujuh wanita lainnya.”
Lalu dia melepas infus yang terpasang di tangannya. Dan berjalan menyusuri lorong rumah sakit seperti tak pernah terjadi sesuatu yang amat besar memukul kehidupannya.

Celaka!

Rasa rindu yang mulai agresif sanggup melemahkan berbagai jenis perasaan yang biasanya tak kalah agresifnya di pagi hari. Rasa mulas di pagi hari, rasa lapar, dan rasa kantuk, rasa-rasanya cuma rumput-rumput liar yang biasanya tak kupedulikan. 

Aku sudah seperti di gorong-gorong selokan. Gelap. Pengap. Bersandar di lengkungan gorong-gorong, berpura-pura menikmati dan membayangkan ini seperti rumah.

Anyir. Penuh sampah. Cacing, bakteri, plankton, dan  jenis makhluk hidup lain yang merasa bahwa ini rumahnya menari-nari mengisyaratkan bahwa ini surga. Celaka!

Ritme ini membingungkan dan membuatku kepalang jalan di tempat.

Celaka! Rasa rinduku bukan lagi kentut yang keluar nakal lalu menghilang terserap udara. Bukan juga pengandaian tentang gelap dan baunya gorong-gorong.


Rasa rinduku adalah pertanda. Pertanda bahwa aku harus memedulikan rumput liar. Aku rindu rumah. 


Jakarta, 01 Juni 2015

Bali Kintamani

Bertemu denganmu membuatku sadar bahwa kamu adalah satu-satunya keikhlasan yang mampu membuatku mencintai dalam diam. Berperang dengan perasaan-perasaan yang tidak aku sanggupi, menyumpah-nyumpahi segala kebodohan-kebodohan yang hampir setiap detik aku lakukan demi mengkhayalkan kehadiranmu. Mungkinkah memang selalu seperti itu yang namanya gejolak jatuh cinta? Mungkinkah memang selalu seperti itu yang namanya haru biru merindukan seseorang yang kita cinta? Iya, aku merindukanmu. Sudah 6 bulan lebih 9 hari, kamu menghilang dari hadapanku. Sudah ribuan drama menyibukkan diri yang aku mainkan. Sudah ribuan doa terpanjat untukmu yang entah merindukanku atau tidak.  Tahukah kamu, pernah suatu hari rasanya aku ingin menyerah?
Bali Kintamani. Hit and miss in the past.
Itulah kalimat analogika salah satu warung kopi di Yogyakarta untuk menggambarkan menu kopi Bali Kintamani di menunya. Kopi yang selalu bisa membuatku jatuh cinta dan menyerah sekaligus. Kopi yang mendekatkan dan menjauhkan kita. Kopi yang menumbuhkan bentuk-bentuk perasaan kasih sayang yang tidak pernah bisa kita berdua sanggupi. Masih teringat jelas pertemuan kita tiga tahun yang lalu di dalam kereta tujuan Yogyakarta-Jakarta saat itu. Pertemuan yang lambat laun membawaku ke perasaan sejenis “cinta sendiri”. Saat itu, kamu hampir terlambat menaiki kereta. Sedangkan aku sudah memasang posisi nyaman di dalam kereta dengan dua sumpalan headset di kedua telingaku. Saat itu aku adalah seorang  fresh graduate yang sedang limbung mencari-cari pekerjaan yang sungguh benar-benar memusingkan kepala, menguras tenaga, dan menurunkan berat badan begitu drastis. Saat itu aku tidak begitu memperhatikanmu bahkan memperhatikan wajahmu seperti apa pun tidak. Kalau saat itu kamu tidak mengajakku berbincang terlebih dahulu, mungkin cerita kamu dan aku hanyalah dua orang manusia di muka bumi yang duduk berdampingan di salah satu gerbong di sebuah kereta tujuan Yogyakarta-Jakarta. Sayangnya, nampaknya Tuhan berkehendak lain. Sederet kalimat “Turun dimana, Mbak?” membawa kita ke cerita aku dan kamu yang jauh lebih dari sekedar dua orang manusia di muka bumi yang duduk berdampingan di salah satu gerbong di sebuah kereta tujuan Yogyakarta-Jakarta. Stasiun demi stasiun, kilometer demi kilometer menjauhi kota Yogyakarta, percakapan demi percakapan mengalir dengan liarnya. Entah kenapa saat itu aku bisa langsung tertawa sangat lebar dengan orang yang baru beberapa menit aku kenal di dalam kereta. Entah jenis aroma keromantisan apa yang ada di dalam kereta itu sehingga mampu membuat kita berdua terus memadu satu per satu jenis obrolan yang sebenarnya mungkin mengganggu penumpang lain saat itu. Kehangatan percakapan yang menyeruak begitu saja membawa kita saling bertukar identitas kehidupan masing-masing. Kamu adalah seseorang yang sedang sama limbungnya mencari pekerjaan. Kamu adalah mantan seorang illustrator di salah satu industri kreatif di Yogyakarta yang keluar karena bosan dan sedang melakukan perjalanan ke kota Jakarta untuk memenuhi panggilan pekerjaan. Sedangkan aku adalah mantan mahasiswa Sastra Indonesia di salah satu Universitas di Yogyakarta yang sedang limbung mencari-cari pekerjaan, sedang kangen rumah di Bogor.
Lalu entah bagaimana, setelah turun dari tujuan masing-masing. Keesokan harinya kita bisa bercakap-cakap via aplikasi whatsapp dan saling berjanji untuk bertemu lagi ketika sudah di Yogyakarta. Seminggu setelah pertemuan itu, kita berdua sepakat untuk bertemu di salah satu warung kopi yang konon kabarnya terenak di Yogyakarta. Kopi Bali Kintamani adalah kopi pilihan kita berdua. Tidak ada kesepakatan apa pun terkait pemesanan menu yang entah kebetulan atau memang jodohnya, kita berdua sama-sama memesan kopi itu secara bersamaan. Pertemuan kedua berlangsung sangat menyenangkan. Dibawah lampu-lampu warung kopi yang samar kuning kecoklatan, kamu mampu menyihirku dengan sejuta bentuk kekaguman yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Lebih tua 3 tahun diatasku ternyata membuatmu begitu mahir dalam membawa percakapan demi percakapan ke arah yang tidak membosankan. Hingga di pertengahan malam, percakapan kita beralih menuju ke kisah-kisah percintaan kita di masa lalu. Untuk tema-tema cinta-cintaan memang ahlinya seorang wanita untuk bercerita jauh lebih banyak. Memang sudah naluriah seorang wanita nampaknya ketika sudah menemukan teman curhat yang nyaman, segala-galanya yang berhubungan dengan permasalahan hati akan ditumpahkan begitu saja tanpa memperhatikan betapa jemunya lawan bicara kita saat itu.
Dikhianati bertahun-tahun dan mengalami bentuk kekerasan-kekerasan seorang laki-laki bertabiat pencemburu stadium V, membuatku tumbuh menjadi perempuan 22 tahun yang lebih kebal dengan serangan patah hati atau hujaman ribuan tombak pengkhianatan sekalipun saat itu. Setahun membenahi diri, mengobati hati dan menata kembali kehidupan agar lebih wajar seperti perempuan 22 tahun lainnya, aku berhasil menjadi Mayang 22 tahun versi baru. Aku lulus kuliah tepat waktu. Meskipun semua belum berjalan sesuai dengan harapan, namun ada dua hal yang paling aku syukuri saat itu yaitu mulai saat itu dan seterusnya aku tak akan pernah bersama dengan laki-laki itu lagi dan entah kebetulan atau takdir, aku bisa bertemu dengan laki-laki sepertimu. Laki-laki impian.
Kamu baik. Caramu berpikir dan memandang sesuatu membuatku merasa sedikit ada persamaan. Caramu menyelesaikan suatu permasalahan tidak pernah membuatku sedikitpun merasa keberatan. Penampilanmu tidak begitu rapi, mungkin cenderung sedikit berantakan. Santai tepatnya. Tubuhmu kurus, lebih tinggi 20 cm diatasku. Bentuk wajahmu lonjong, bola matamu cokelat, bentuk alis yang menghiasi dahimu tidak menggambarkan orang yang berwatak pemarah. Satu lagi yang paling aku suka, kumis tipismu.
Bali Kintamani. Hit and miss in the past.
Kopi Bali Kintamaniku masih terisi setengah. Di luar warung kopi terdengar butir-butir air hujan yang saling bersusulan membasahi tanah Yogyakarta yang cukup bisa dibilang “panas” hari ini. Hari ini aku meliburkan diri. Surat kabar tempatku bekerja pun merasa tidak keberatan jika aku meliburkan diri. Seluruh tanggungan artikel untuk rubrik koran minggu depan sudah kuselesaikan dengan cepat. Sepanjang sepak terjangku di dunia pekerjaan, aku adalah satu-satunya karyawan yang mungkin hanya hitungan jari mengambil jatah-jatah cutinya. Aku ingat sekali, pertama kalinya aku mengambil jatah cuti pertamaku karena ayah jatuh sakit saat itu. Jatah cuti kedua, aku gunakan untuk liburan ke Bali bersama kedua orangtuaku. Jatah cuti ketiga, mulai hari ini dan 6 hari kedepan aku gunakan karenamu. 
Aroma kopi Aceh Gayo menyeruak dari bilik meja yang sedari dulu tidak pernah bergeser sedikitpun posisinya. Bahkan mesin-mesin penggiling kopi yang bertengger disana, cangkir-cangkir kopi yang bergelantungan dan toples-toples kedap udara yang berisi beraneka ragam kopi-kopi nusantara disana, tidak ada yang berubah. Hanya kita yang berubah, aku rasa.
“Mas Dimas kemana, Mbak?”
“Ga tau, Jo. Udah jarang ketemu.” jawabku singkat
“Loh, mas Dimas bukannya di Yogya aja ya? Dia masih kerja di studio punyanya Pak Jarwo, to?”
“Iya masih kok, Jo. Cuma udah ga pernah ketemu lagi sejak terakhir ngopi bareng disini.”
“Oh gitu to. Eh Mbak Mayang habis acara apa di kantor kok masih pakai kebaya?”
“Kamu kok kepo banget to. Udah. Kerja sana.. ”
Aksi sapa yang berbalut pertanyaan yang dilakukan Tejo, salah satu pelayan Warung Kopi yang hampir 3 tahun tidak pernah kehilangan selera keramahannya membuatku kembali sendu mengingatmu. Sekarang umurku 25 tahun, kamu 28 tahun. Sudah 3 tahun kita saling mengenal. Milyaran pesan singkat dan gelombang suara via udara sudah kita ciptakan pagi, siang, dan malam. Berbagai bentuk pertemuan sudah kita lakukan. Berbagai cerita pahit, manis, dan hambar sudah sama-sama kita rasakan. Dan kita pun sama-sama tahu. Hati ini selalu untukmu. Hati itu selalu untukku.
3 tahun menghabiskan waktu bersamamu tak pernah membuatku merasa jemu. Tak pernah membuatku berubah menjadi seorang perempuan yang menuntut memilikimu. Menuntutmu menjadi kekasihku. Entah siapa yang sebenarnya takut jatuh cinta diantara kita berdua. Mungkin aku sehingga sebergejolak apa pun perasaanku kepadamu, tak pernah membuatku membuka mulut memintamu menjelaskan arah hubungan kita sebenarnya. Meskipun terkadang ketika aku sedang sangat merindukanmu, ingin sekali rasanya aku memeluk dan menciummu. Meskipun terkadang ketika kamu tidak ada, aku sangat merasa kesepian. Meskipun terkadang ketika kamu mulai bercerita tentang teman-teman perempuanmu, hatiku hancur berkeping-keping. Di saat-saat seperti itulah rasanya ingin sekali memilikimu. Memilikimu menjadi kekasihku. Pernah suatu hari aku merengek karena sangat merindukanmu. Merengek seakan-akan aku dan kamu adalah sepasang kekasih. Saat itu aku pikir kamu akan menilaiku berlebihan. Tapi tidak. Kamu justru memeluk dan mencium bibirku. Saat itu hatiku menjadi sangat tenang, kerinduanku disambut kerinduanmu juga, perasaanku menjadi semakin meluber. Aku sangat mencintaimu.
Bali Kintamani. Hit and miss in the past.
Malam ini. Di hari yang “membahagiakan” ini, aku merasakan aroma cintamu menyeruak menghadirkan dimensi-dimensi perjalanan cinta kita berdua. Aku tahu, aku tidak salah untuk menjatuhkan hati kepadamu. Aku tahu, kamu mencintaiku. Ada ruang istimewa tersendiri dihatimu untukku. Ada ketulusan kasih sayang yang mengalir apa adanya bersama waktu diantara kita berdua.
Sekarang, kopi Bali Kintamani di cangkirku hanya tertinggal ampas-ampasnya saja. Namun meskipun hanya ampas, justru kenikmatan dan kelembutan cita rasa kopi Bali Kintamani terletak pada ampasnya. Pada bagian akhirnya.
Hari ini menjadi alasan kenapa tipe pekerja sepertiku mengambil jatah cutinya secara mendadak. Seminggu yang lalu saat mata sudah mulai terkantuk-kantuk, lipstik sudah luntur dibawa ribuan deadline surat kabar, ditambah lagi dengan kemisteriusan orang yang paling dicintai menghilang tanpa kabar. Ada sebuah bingkisan terselip dibawah pintu kamar kost. Bingkisan itu berwarna cokelat muda. Di bingkisan itu ada sebuah undangan dan kebaya warna hijau muda.
Semakin malam, warung kopi ini semakin ramai. Berbagai aroma kopi saling bertukar posisi menghinggapi hidung. Terkadang cinta jika semakin sulit justru semakin mengajarkan kita banyak hal. Mencintaimu membuatku sadar bahwa kamu memang satu-satunya keikhlasan yang mampu membuatku mencintai dalam diam. Mencintaimu membuatku sadar bahwa yang namanya cinta itu ikhlas. Tidak pernah memaksa, bagaimanapun keadaannya. Jika memang cinta, pastilah tidak akan ada bentuk pemaksaan model apa pun. Memaksa dia harus seperti harapan kita. Memaksa dia harus berpenampilan sesuai selera kita. Memaksa peristiwa demi peristiwa agar sesuai dengan dengan skenario yang kita buat. Memaksa untuk dia, orang yang telah membuat hati kita berbunga-bunga untuk menjadi milik kita dan model-model pemaksaan lainnya. Semua itu tidak ada pada kamus cinta. Cinta itu mengalir. Jangan memaksa. Jangan membuat jalan cerita sendiri. Itu bukan cinta tapi cuma suka. Cinta hadir tidak terburu-buru. Cinta hadir perlahan, mengikuti arus, menguji iman dan kesabaran. Cinta juga menguatkan. Sepelik dan semenyakitkan apa pun perjuangan cinta itu. Dia tidak akan membuatmu lelah, justru malah semakin membuatmu kuat. Cinta tidak akan pernah membuat kita terinjak-injak bahkan mati konyol sekalipun. Cinta itu pemberian yang paling indah dari Tuhan. Jadi tidak mungkin cinta itu merendahkan kita dan membuat kita menjadi pribadi yang penuh kekerasan. Itu jelas bukan cinta.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun semenjak mengenal dan menjatuhkan hati kepadamu, aku merasa mencintaimu seperti ini sudah cukup. 3 tahun bersama, menjadi orang yang selalu menemani hari-harimu itu sudah cukup. Berbagi cerita dan mimpi bersamamu. Tertawa dan menangis bersamamu. Menghabiskan pagi, siang, dan malam dengan berbagai momentum yang tak terlupakan. Semua itu sungguh cinta yang sangat luar biasa. Kamu tidak akan pernah kehilanganku. Aku  bisa menjadi teman perempuanmu sampai kapan pun, dalam keadaan apa pun, bahkan dalam keadaan mengetahui kamu tidak akan pernah menjadi milikku sekalipun.
Hari ini mataku seperti terbakar. Pedih, panas, namun tidak bisa berair. Kamu semakin tidak bisa kujangkau. Sejak pertemuan kita 6 bulan yang lalu, saat kamu tak memesan kopi Bali Kintamani seperti biasa. Saat itu lah kusadari bahwa kamu tak mungkin ku temui lagi. Entah kenapa, saat itu wajahmu kulihat sangat murung. Desahan suaramu meninggalkan pertanyaan sekaligus takut kehilangan.
Dengan kebaya hijau muda yang masih aku kenakan malam ini, siang tadi di Masjid Agung Syuhada Yogyakarta , aku menyaksikanmu mengucap ikrar cinta kepada perempuan pilihan orangtuamu. Kamu begitu tampan. Aku duduk di seberangmu tepat dibelakang pak ustadz. Rambut panjangku, kukepang ke samping. Beberapa detik aku sempat menjauhkan diri ke lamunan, membayangkan nama yang kamu sebut di janji sehidup semati itu adalah namaku. Ketika kubuka mata, masih dengan posisi bersalaman dengan pak ustadz, kamu menatap ke arahku. Ada sedikit warna merah di kedua bola matamu, tarikan senyummu menyiratkan kepedihan begitu dalam dan aku sudah menjerit-jerit di bawah alam sadar semenjak mengancingkan kebaya hijau muda ini ke badanku. Perempuan itu tersenyum sangat bahagia. Dapat terlihat jelas di kedua pipinya yang memerah. Kebaya yang ia kenakan sama dengan kebayaku, hanya beda versi. Versi berjilbab. Dia cantik. Serasi denganmu.

Kopi Bali Kintamani di cangkirku sudah habis. Ampas-ampasnya sudah tidak bisa dirasakan lagi, yang tersisa di meja adalah segelas air putih. Kopi ini mengantarkanku kepada dimensi-dimensi haru biru, ketakberdayaan dan impian yang tak sampai.  Kopi ini menghadirkan aroma-aroma kehangatan yang tak bisa membuatku untuk berhenti merindukanmu. Aroma wangi kopi ini saat baru digiling akan selalu membuatku teringat akan ketulusan cinta kita berdua. Cinta yang mengikhlaskan, mendamaikan, mengalir seperti air. Cinta yang hadir perlahan, apa adanya

FIRST LOVE


I just dream all day. They don’t know what’s wrong with me.. and I’m too shy to say. It’s my first love.. what I’m dreaming of. When I go to bed. When I lay my head upon my pillow. Don’t know what to do.. 

yeah, hi :)

April 19, 2012
21.43
Tidak seperti biasanya aku tidur sepagi itu. Hari itu aku hanya merasa kelelahan saja setelah beberapa hari dipenuhi dengan ujian tengah semester. Rasanya sangat lelah. Dengan pelan, aku mulai menarik selimut merah jambu dan meletakan boneka sapi berwarna putih di sebelah kiri dan Leo di sebelah kanan. Lalu beberapa menit berlalu, tibalah aku di pelabuhan mimpi yang biasanya tidak pernah berhasil membuatku tersenyum bahagia. Tetapi, entah mengapa dan apa yang terjadi. Aku merasa malam ini sangat berbeda, segala isi ruangan dalam mimpi ini berbeda. Sangat indah dan membuatku merasa sangat betah dan tak ingin keluar dari alam ini. Aku berjalan menyusuri jalan sepi tanpa arah dengan mengendarai sepeda berwarna kuning. Setelah lelah berjalan, aku memutuskan untuk duduk di bangku taman dan menyandarkan sepeda di pohon. Angin sangat kencang tapi romantis. Beberapa menit kemudian, ada seseorang duduk di sampingku. DIA. Cinta pertamaku... 
Dengan jaket warna abu-abunya, dia duduk terdiam dan menatapku penuh senyum. Entah mengapa, aku merasa seperti bunga yang kuncup dan langsung mekar setelah melihat senyuman di wajah manisnya. Aku seperti terbawa angin kencang yang berembus tadi, aku melayang-layang dan ada dia yang menggandeng tanganku. Aku membalas senyumnya dan ia tersenyum penuh arti. 

" Di senja yang memerah, 
aku merasa tak kuasa untuk terus mengalah..
aku pernah kecewa, terluka, dan mencampakkanmu..
Di senja yang memudar,
kau melukiskan wajahmu di awan..
kau melukiskan hatiku yang dulu kepadamu,
aku jatuh, kau jatuh, dan kita jatuh.. "

Sepintas lamunan tentang kenangan harus memudar saat itu juga, karena kenangan memang memiliki  masanya sendiri yaitu masa lalu. Dia membawaku ke suatu tempat. Di tempat yang sepertinya tidak asing bagiku, dia menangis. Dia menangis di pundakku dan dia berkata bahwa ia mencintaiku. Dia memelukku dan aku hampir tidak bisa bernafas karenanya. Adzan subuh membuyarkan pelukannya dan membuatku membuka mata. Dengan sempoyongan, aku bangun dan segera mengambil air wudhu. Aku menggumam, apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi? DIA! apa yang terjadi denganku, kenapa aku tersenyum sebahagia ini? tapi, aku menangis. Iya, mataku menangis tapi kenapa aku merasa bahagia? Tanpa sadar air mata itu semakin deras mengguyur mataku  seusai sholat. Aku melipat mukena serta sajadah dan ku letakan di atas kursi belajarku. Aku melanjutkan tidurku dan berharap aku bisa bertemu dengannya lagi. Ternyata dia kembali memelukku lalu mencium keningku dan masih berkata bahwa ia mencintaiku. 
Lalu kami berjalan-jalan dan mengelilingi kota dengan sepeda kuningku.. kami tertawa bahagia bahkan sangat bahagia... 
Senja sudah datang dan ia mengantarkanku ke rumah. Sesampainya di rumah, ia menemui orang tuaku dan berkata kepada mereka bahwa ia sangat mencintaiku_________

April 20, 2012
07.30
MIMPI YANG SANGAT INDAH! 
Aku bangkit dari tempat tidur dengan semangat dan segera mandi untuk bersiap berangkat kuliah!
Aku tersipu-sipu sepanjang hari dan berharap never stopping untuk kebahagiaan ini!




Pesan Dari Sebuah Buku


Hidup terus berjalan dan berperang di tengah kebahagiaan dan kekecewaan. Manusia adalah perwujudan dari roh atas sebuah kebebasan dan tanggung jawab dari berbagai pilihan hidup. Manusia tidak akan pernah lepas dari roda perjalanan hidup. Manusia akan terus membangun identitas dan eksistensinya sehari-hari. Di suatu saat, mungkin manusia akan merasa terpukul oleh berbagai perubahan hidup. Dan di saat lain pula, manusia akan merasa terbuai di puncak gelombang pasang naik kehidupan. Kata orang bahwa inilah yang menjadikan hidup itu misteri dan ini pula yang menjadikan setiap saat suatu kekecewaan masa lampau. Kedamaian atau harmoni masa kini atau kebalikannya, serta ancaman dan janji saat-saat yang akan datang. Manusia adalah nilai. Manusia adalah suatu integritas. Manusia adalah suatu keunikan dan tidak ada satu orang pun yang memiliki bendera hak untuk memenjarakan hati dan kebebasan akan jalan hidupnya. Manusia adalah hakikat atas keputusan. Orang lain hanya berhak untuk membantu dan bukan menentukan bahkan mengancam.

Aku adalah perwujudan dari roh atas sebuah kebebasan dan tanggung jawab dari berbagai pilihan hidup. Aku akan terus membangun identitas dan eksistensiku sehari-hari. Di suatu saat, aku pasti akan terpukul oleh berbagai perubahan hidup. Dan di saat lain pula, aku akan merasa terbuai di puncak gelombang pasang naik kehidupan. Aku adalah nilai. Aku adalah suatu integritas. Aku adalah suatu keunikan dan tidak ada satu orang pun yang memiliki bendera hak untuk memenjarakan hati dan kebebasan akan jalan hidupku. Aku adalah hakikat atas keputusan.

Gelombang pasang surut kehidupan akan melanda setiap manusia di muka bumi. Hanya saja besar kecilnya gelombang dan kuat rapuh karang yang melindunginya berbeda. Karena itulah manusia tidak akan pernah bisa dikatakan sempurna. Akan ada kekuatan dan kelemahan yang melekat pada dirinya. Akan ada kebaikan dan kejahatan di dirinya. Dan akan ada selalu kebenaran dan kesalahan yang terpaut kuat di dalam dirinya.

Awal aku tidak merasa jika aku berbeda. Hingga suatu malam seseorang bercerita kepadaku tentang banyak hal di hidupnya. Aku merasa sangat kagum dan memiliki energi lebih seketika. Kami bercerita banyak hal, bercerita tentang hidup di berbagai sisi. Semakin malam kami merasa semakin hangat, hingga akhirnya di saat malam sudah enggan bermalam dan hari sudah mulai ingin berganti pagi, di penghujung pembicaraan dan pertemuan kami, dia menyampaikan sekelumit pesan. Dia menyadarkan aku akan keberbedaanku dengan yang lain. Dengan lugas, dia berkata kepadaku bahwa aku adalah orang yang memiliki dan asyik dengan duniaku sendiri. Aku adalah orang yang memiliki cara dan jalan berpikir yang sangat berbeda dengan orang lain. Lalu entah apa yang sudah terjadi, dia menitikan air mata dan menatapku iba. Ia seperti seseorang yang sudah mengenalku lama dan tahu akan jatuh bangunnya aku. Ia seperi malaikat yang datang kepadaku yang tiba-tiba datang mengajakku bertemu dan menerawang pisau-pisau yang tertancap dalam di tubuhku. Dan sejak malam itulah, ia telah memberiku energi lebih hingga sekarang. Ucapan terima kasih dan doa terbaik untuknya, hanya itulah yang bisa aku berikan. J

Albert Camus


" Tamatlah dunia ini,
Jangan bicara omong kosong!
Andai dunia sekarat...
Dunia, boleh jadi; Spanyol tidak.
Bahkan Spanyol bisa mati!
Berlututlah dan mohon rahmat Tuhan!
Ini komet untuk orang jahat.. "

Sebuah prolog favorit saya di salah satu karya seorang intelektual Prancis Albert Camus.
Albert Camus lahir pada tahun 1913 sebagai seorang anak Prancis-Aljazair. Keluarganya berasal dari kelas pekerja Aljazair. Dia pertama kali dikenal di Prancis pada akhir Perang Dunia II saat bekerja di surat kabar perlawanan Combat. Pada tahun-tahun selama perang dia segera memantapkan diri bersama dengan teman sezamannya Jean Paul Sartre dan kekasihnya Simone de Beavoir sebagai seorang pelopor generasi baru pengarang, filsuf, dan kritikus Prancis. Perhatian utama mereka pada saat itu adalah perjuangan untuk kebebasan, keadilan dan martabat manusia dalam tahun-tahun kekuasaan para tiran yang bercokol terus-menerus dan saling berselisih yang dapat diperangi semata-mata dalam keadaan ambiguitas total.

Camus mengungkapkan kreativitasnya melalui dua genre sastra utama yaitu prosa dan lakon drama, dan juga melalui esai-esai filsafat dan jurnalisme. Reputasi Camus melejit dengan cepat, sementara ia masih begitu muda , dalam masa lima tahun setelah Perang Dunia II. Empat drama orisinal dan dua esai besar filsafatnya membawa dia ke dalam limpahan material dan ketenaran. La Chute adalah karya Camus yang terbaik. Di situlah tergambarkan kepribadiannya yang terdalam, paling tragis, dan sekaligus paling komikal.

Terserah Apa Kata Desember #1

Kali ini aku benar-benar merasakan "beda"
Saat menjemput dan melepas bayangnya
Ini sebuah dosa ataukah anugerah
Karena aku berdiri diantara pijakan yanng berbeda

Seperti yang pernah terjadi padaku dulu,
Rasa itu mengalir deras melewati jendela makroskopis
Hingga kering seluruh imaji akan bayang kehidupan lain

Sebenarnya,
Aku bosan akan jejak ini
Hingga sempat aku memaksa semesta untuk berikrar pada kesunyian fana
Tentang aku, dia, dirinya, bahkan engkau.